Sunnah-sunnah Wudhu. Dalam pendefinisan sunnah, ada beberapa pendapat diantara para ulama madzhab, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah, mandub, mustahab, dan fadhilah adalah satu beberapa kata yang memiliki persamaan makna yaitu sesuatu yang jika dilakukan akan menghasilkan pahala untuk yang melakukannya dan tidak akan dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berbeda dengan mandub dan mustahab, karena adanya tuntutan dari orang yang menguatkan ( أَكد ) dan atas setiap keadaan, maka orang yang melakukannya diberi pahala dan bagi yang meninggalkannya tidak dikenakan adzab, ada juga yang setelah ia berpendapat bahwa empat kata tersebuut berbeda membagi sunnah menjadi dua yaitu muakkad dang air muakkad, bagi orang yang meninggalkan sunnah muakkad mendapatkan hukuman dengan tidak mendapatkan syafa’at Nabi SAW di hari kiamat kelak sekalipun memang tidak dikenakan adzab neraka
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu masih banyak perdebatan yang terjadi diantara para ulama terutama para imam madzhab dalam beberapa masalah yang masih diperdebatkan kedudukannya apakah sunnah, atau syarat, atau fardhu. Diantaranya adalah mencelubkan kedua tangan kedalam bejana sebelum berwudhu, diantara ulama yang berpendapat bahwa itu pekerjaan sunnah adalah Imam Syafi’i dan Imam Malik itu pun jika yakin bahwa tangan tersebut suci, ada juga yang pendapat yang mengatakan bahwa pekerjaan itu mustahab dan pendapat ini juga diriwayatkan dari pendapat Imam Malik. Menurut Daud az Zhohiri dan kalangan Ashhab-nya perbuatan itu wajib sebagai peringatan bagi yang tidur dimalam hari
Adapun hadits yang berkaitan dengan masalah ini adalah :
اِذَا اسْتَيْقَظَ اَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الْاِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَ ثَلَاثًا، فَاِنَّهُ لَا يَدْرِى اَيْنَ بَاتَتْ يَِدُهُ
Dalam kitab Mishbah az Zholam karangan Syeikh Moh. Muhajirin Amsar ad Dary dikatakan bahwa larangan ini ditujukan kepada penduduk Hijaz yang memang terbiasa beristinja’ dengan batu dan daerah mereka adalah daerah yang sangat panas, sehingga ketika mereka tidur akan bercucuran keringat dan keringat tersebut mengalir ke dubur yang hanya di-istinja’-kan dengan batu, maka bisa dikatakan tempat itu adalah tempat yang mutanajjis, dan larangan ini bersifat littahrim. Tetapi larangan ini tidak diarahkan untuk orang yang terbiasa beristinja dengan menggunakan air. Dan taqrir hukum dari masalah ini tidak hanya dikhususkan kepada orang yang bangun tidur akan tetapi lebih difokuskan bagi orang yang ragu dengan keadaan tangannya
Diantara hal-hal yang diperdebatkan oleh alim ulama adalah masalah berkumur ( المضمضة ) dan istinsyaq dalam wudhu, ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; yang pertama keduanya sunnah sebagai mana yang diutarakan oleh Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah. Pendapat yang kedua, keduanya fardhu ini dilontarkan oleh Ibnu Abi Layla dan sekelompok pengikut Daud az Zahohiry, pendapat yang ketiga mengatakan bahwa istinsyaq fardhu dan berkumur sunnah, ini dikatakan oleh Abu Tsaur, Abu ‘Ubaidah, dan sekelompok pengikut az Zahohiry. Perbedaan pendapat ini didasari dengan adanya hadits-hadits yang menyebutkan berkumur sebagai tata cara pelaksanaan wudhu, apabila ada yang perpendapat bahwa itu hanya tambahan saja maka keduanya sunnah, karena kalau wajib pasti akan ada pertentangan dengan nash al Qur’an-nya, dengan demikian sudah jelas bahwa hadits tersebut ingin mengecualikan dua hal tersebut sebagai sunnah wudhu
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu juga dibicarakan tentang bilangan basuhan maupun sapuhan, dalam perintah di ayat temtang wudhu memang tidak dijelaskan apakah sunnah melebihi satu kali basuhan ? tapi hadits-hadits shahih yang menjelaskan tatacara berwudhu nabi pun sudah cukup menjelaskan bahwa semua yang melebihi dari satu, baik itu dua maupun tiga adalah sunnah, karena kalimat amr ( perintah ) hanya menuntut satu kali. Yang menjadi permasalahan adalah dalam jumlah sapuhan kepala, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika seseorang berwudhu dari awal masing-masing tiga kali, maka ketika menyapu kepala pun tiga kali sapuhan. Perbedaan ini bersumber pada hadits yang warid dari Sayyidina ‘Utsman RA yang berwudhu secara keseluruhan sebanyak tiga kali basuhan tapi hanya sekali usapan dikepala, dan ada hadits yang tidak bersumber dari beliau yang berisikan tatacara seluruhnya tiga kali basuhan dan tiga kali sapuhan, Imam Syafi’i mempermudah dengan mewajibkan untuk menerima rwayat-riwayat ini baik yang satu, dua, ataupun tiga kali karena seluruhnya bersumber pada hadits shahih
Sebagian masyarakat muslim Indonesia menganggap bahwa telinga termasuk salah satu fardhu wudhu, namun hal itu masih diperdebatkan oleh para ‘alim ulama. Menurut sebagian ulama membasuh telinga termasuk rukun wudhu dan mereka menta’wilkan pendapat ini adalah pendapat Imam Malik, begitupun menurut Abu Hanifah dan Ashhabnya namun beliau mengatakan bahwa telinga dapat dibasuh dengan air sisa basuhan kepala berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat fardhu namun dengan air yang baru. Menurut Imam Syafi’i keduanya bukanlah fardhu namun sunnah wudhu dan harus menggunakaan air yang baru. Dalam kitab Mishbah diterangkan bahwa yang mengisyaratkan untuk menggunakan air yang baru adalah ; Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal. Dan hadits yang tertera dalam kitab ini menguatkan pendapat golongan madzhab Hanafiyah :
ثمّ مسح برأسه و أدخل أصبعيه السباحتين فى أذنيه ومسح بإبهاميه ظاهر أذنيه
pokok perdebatan dalam masalah ini adalah apakah hadits yang berbunyi :
مسحه عليه الصلاة والسلام أذنيه
Apakah hadits itu menjadi penjelas dari mujmalnya al Qur’an atau tidak ? bagi yang mengatakan tidak berarti tidak bisa memasukkan telinga dalam fardhu wudhu karena akan ada i’tirodh antara ayat dan hadits, bagi yang berpendapat hadits itu adalah penjelas ayat tentang wudhu yang telah disebutkan diatas maka bias menempatkan telinga sebagai salah satu fardhu wudhu, namun kami tidak bisa mengambil keputusan-keputusan yang valid karena dalam Bidayah al Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusydy, banyak didapati pendapat-pendapat yang hanya sebuah ta’wil-ta’wil kepada salah seorang imam empat madzhab.
Pada masalah tartib wudhu yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i wajib ada beberapa pendapat, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Malik, golongan ashhab Imam Malik yang modern, ats Tsaury, dan Daud az Zhohiry. Sedangkan yang sependapat dengan Imam Syafi’i adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu ‘Ubaid. Sebab perbedaan pendapat ini terpusat pada huruf wau و dalam ayat tentang wudhu apakah berfaidah tartib dan nasaq ( tersusun ) seperti yang dikatakan oleh ulama Kufah ataukah hanya bersifat menjama’ saja, seperti yang diutarakan oleh ulama Bashrah ? inilah yang menjadi perbedaan pendapat antara alim ulama, maka jikalau kita lebih condrong ke pendapat ulama Kufah maka tertib adalah sebuah fardhu wudhu. Terlebih ada hadits nabi yang berbunyi إبدؤوا بما بدأ الله به yang seakan memperjelas bahwa tartib dalam wudhu itu merupakan salah satu fardhu wudhu. Adapun muwalat yang diklaim oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal sebagai sebuah fardhu pun juga diperdebatkan oleh para ulama, menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah Muwalat adalah sebuah pekerjaan sunnah, sebab perbedaan ini pun didasari pada huruf ‘athof tadi, yaitu و , karena ada yang berpendapat و tersebut mengathofkan kalimat-kalimat yang beriringan dan “menempel” maka dengan ini muwalat itu salah satu fardhu wudhu. Namun ada yang berpendapat bahwa و tersebut mengathokan kalimat perkalimat dalam ayat wudhu dalam keadaan “longgar” artinya tiding menempelkan satu dengan yang lainnya, sebagian kaum menggunakan hadits :
بما ثبت عنه أنّه عليه الصلاة والسلام كان يتوضّأ في أوّل طهوره ويؤخرغسل رجليه إلى أخر الطهور
jika kita tinjau hadits ini, kita dapat fahami bahwa muwalat bukan termasuk salah satu fardhu wudhu.
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu masih banyak perdebatan yang terjadi diantara para ulama terutama para imam madzhab dalam beberapa masalah yang masih diperdebatkan kedudukannya apakah sunnah, atau syarat, atau fardhu. Diantaranya adalah mencelubkan kedua tangan kedalam bejana sebelum berwudhu, diantara ulama yang berpendapat bahwa itu pekerjaan sunnah adalah Imam Syafi’i dan Imam Malik itu pun jika yakin bahwa tangan tersebut suci, ada juga yang pendapat yang mengatakan bahwa pekerjaan itu mustahab dan pendapat ini juga diriwayatkan dari pendapat Imam Malik. Menurut Daud az Zhohiri dan kalangan Ashhab-nya perbuatan itu wajib sebagai peringatan bagi yang tidur dimalam hari
Adapun hadits yang berkaitan dengan masalah ini adalah :
اِذَا اسْتَيْقَظَ اَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الْاِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَ ثَلَاثًا، فَاِنَّهُ لَا يَدْرِى اَيْنَ بَاتَتْ يَِدُهُ
Dalam kitab Mishbah az Zholam karangan Syeikh Moh. Muhajirin Amsar ad Dary dikatakan bahwa larangan ini ditujukan kepada penduduk Hijaz yang memang terbiasa beristinja’ dengan batu dan daerah mereka adalah daerah yang sangat panas, sehingga ketika mereka tidur akan bercucuran keringat dan keringat tersebut mengalir ke dubur yang hanya di-istinja’-kan dengan batu, maka bisa dikatakan tempat itu adalah tempat yang mutanajjis, dan larangan ini bersifat littahrim. Tetapi larangan ini tidak diarahkan untuk orang yang terbiasa beristinja dengan menggunakan air. Dan taqrir hukum dari masalah ini tidak hanya dikhususkan kepada orang yang bangun tidur akan tetapi lebih difokuskan bagi orang yang ragu dengan keadaan tangannya
Diantara hal-hal yang diperdebatkan oleh alim ulama adalah masalah berkumur ( المضمضة ) dan istinsyaq dalam wudhu, ada tiga pendapat masyhur dalam masalah ini; yang pertama keduanya sunnah sebagai mana yang diutarakan oleh Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah. Pendapat yang kedua, keduanya fardhu ini dilontarkan oleh Ibnu Abi Layla dan sekelompok pengikut Daud az Zahohiry, pendapat yang ketiga mengatakan bahwa istinsyaq fardhu dan berkumur sunnah, ini dikatakan oleh Abu Tsaur, Abu ‘Ubaidah, dan sekelompok pengikut az Zahohiry. Perbedaan pendapat ini didasari dengan adanya hadits-hadits yang menyebutkan berkumur sebagai tata cara pelaksanaan wudhu, apabila ada yang perpendapat bahwa itu hanya tambahan saja maka keduanya sunnah, karena kalau wajib pasti akan ada pertentangan dengan nash al Qur’an-nya, dengan demikian sudah jelas bahwa hadits tersebut ingin mengecualikan dua hal tersebut sebagai sunnah wudhu
Dalam penetapan sunnah-sunnah wudhu juga dibicarakan tentang bilangan basuhan maupun sapuhan, dalam perintah di ayat temtang wudhu memang tidak dijelaskan apakah sunnah melebihi satu kali basuhan ? tapi hadits-hadits shahih yang menjelaskan tatacara berwudhu nabi pun sudah cukup menjelaskan bahwa semua yang melebihi dari satu, baik itu dua maupun tiga adalah sunnah, karena kalimat amr ( perintah ) hanya menuntut satu kali. Yang menjadi permasalahan adalah dalam jumlah sapuhan kepala, Imam Syafi’i berpendapat bahwa jika seseorang berwudhu dari awal masing-masing tiga kali, maka ketika menyapu kepala pun tiga kali sapuhan. Perbedaan ini bersumber pada hadits yang warid dari Sayyidina ‘Utsman RA yang berwudhu secara keseluruhan sebanyak tiga kali basuhan tapi hanya sekali usapan dikepala, dan ada hadits yang tidak bersumber dari beliau yang berisikan tatacara seluruhnya tiga kali basuhan dan tiga kali sapuhan, Imam Syafi’i mempermudah dengan mewajibkan untuk menerima rwayat-riwayat ini baik yang satu, dua, ataupun tiga kali karena seluruhnya bersumber pada hadits shahih
Sebagian masyarakat muslim Indonesia menganggap bahwa telinga termasuk salah satu fardhu wudhu, namun hal itu masih diperdebatkan oleh para ‘alim ulama. Menurut sebagian ulama membasuh telinga termasuk rukun wudhu dan mereka menta’wilkan pendapat ini adalah pendapat Imam Malik, begitupun menurut Abu Hanifah dan Ashhabnya namun beliau mengatakan bahwa telinga dapat dibasuh dengan air sisa basuhan kepala berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat fardhu namun dengan air yang baru. Menurut Imam Syafi’i keduanya bukanlah fardhu namun sunnah wudhu dan harus menggunakaan air yang baru. Dalam kitab Mishbah diterangkan bahwa yang mengisyaratkan untuk menggunakan air yang baru adalah ; Imam Syafi’i, Malik, Ahmad bin Hanbal. Dan hadits yang tertera dalam kitab ini menguatkan pendapat golongan madzhab Hanafiyah :
ثمّ مسح برأسه و أدخل أصبعيه السباحتين فى أذنيه ومسح بإبهاميه ظاهر أذنيه
pokok perdebatan dalam masalah ini adalah apakah hadits yang berbunyi :
مسحه عليه الصلاة والسلام أذنيه
Apakah hadits itu menjadi penjelas dari mujmalnya al Qur’an atau tidak ? bagi yang mengatakan tidak berarti tidak bisa memasukkan telinga dalam fardhu wudhu karena akan ada i’tirodh antara ayat dan hadits, bagi yang berpendapat hadits itu adalah penjelas ayat tentang wudhu yang telah disebutkan diatas maka bias menempatkan telinga sebagai salah satu fardhu wudhu, namun kami tidak bisa mengambil keputusan-keputusan yang valid karena dalam Bidayah al Mujtahid karangan Imam Ibnu Rusydy, banyak didapati pendapat-pendapat yang hanya sebuah ta’wil-ta’wil kepada salah seorang imam empat madzhab.
Pada masalah tartib wudhu yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i wajib ada beberapa pendapat, diantaranya seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Malik, golongan ashhab Imam Malik yang modern, ats Tsaury, dan Daud az Zhohiry. Sedangkan yang sependapat dengan Imam Syafi’i adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu ‘Ubaid. Sebab perbedaan pendapat ini terpusat pada huruf wau و dalam ayat tentang wudhu apakah berfaidah tartib dan nasaq ( tersusun ) seperti yang dikatakan oleh ulama Kufah ataukah hanya bersifat menjama’ saja, seperti yang diutarakan oleh ulama Bashrah ? inilah yang menjadi perbedaan pendapat antara alim ulama, maka jikalau kita lebih condrong ke pendapat ulama Kufah maka tertib adalah sebuah fardhu wudhu. Terlebih ada hadits nabi yang berbunyi إبدؤوا بما بدأ الله به yang seakan memperjelas bahwa tartib dalam wudhu itu merupakan salah satu fardhu wudhu. Adapun muwalat yang diklaim oleh Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal sebagai sebuah fardhu pun juga diperdebatkan oleh para ulama, menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah Muwalat adalah sebuah pekerjaan sunnah, sebab perbedaan ini pun didasari pada huruf ‘athof tadi, yaitu و , karena ada yang berpendapat و tersebut mengathofkan kalimat-kalimat yang beriringan dan “menempel” maka dengan ini muwalat itu salah satu fardhu wudhu. Namun ada yang berpendapat bahwa و tersebut mengathokan kalimat perkalimat dalam ayat wudhu dalam keadaan “longgar” artinya tiding menempelkan satu dengan yang lainnya, sebagian kaum menggunakan hadits :
بما ثبت عنه أنّه عليه الصلاة والسلام كان يتوضّأ في أوّل طهوره ويؤخرغسل رجليه إلى أخر الطهور
jika kita tinjau hadits ini, kita dapat fahami bahwa muwalat bukan termasuk salah satu fardhu wudhu.
Kami sangat ingin memanjakan anda dalam belajar, IQRO.NET sangat membutuhkan saran anda dalam mewujudkan hal itu, Salah satunya adalah kami ingin memberitahukan anda ketika kami update Artikel menggunakan RSS atau menggunakan email, silahkan.
Sengaja banyak catatan yang belum selesai, kami ingin tau seberapa perduli anda kepada ilmu, terutama masalah muamalah, biasanya akan terurai pada kolom komentar.
kesimpulannya bagaimana ustad.? saya jd ragu setalh membaca artikel ini...
ReplyDeleteUntuk yang membuat anda menjadi ragu di bagian mananya? Atau yang mana yang belum anda fahami?
DeleteKarna ada pendapat dari bberapa ulama, jd mana yg harus diikuti ustad,,
DeleteStandart Indo adalah Itba' madzhab syafi'iyah... tapi ketika anda ada udzur yang tidak memungkinkan anda menggunakan madzhab syafi'i maka anda boleh berpinda madzhab yaitu dengan beberapa syarat, Nah syarat in juga menjadi ketetapan ijma' ulama
Delete